Pelatihan Rumah Sakit | Diklat Rumah Sakit | Jadwal Pelatihan Rumah Sakit-Di awal berdirinya pemerintahan kotapraja (gemeente) pada 1917, masalah kesehatan menjadi salah satu sektor penting yang menjadi fokus perhatian pemerintah kota. Pelayanan terhadap kesehatan warga menjadi upaya prioritas disamping pendidikan, pengadaan roema sakit salatiga 1air bersih, listrik, komunikasi serta penyediaan fasilitas publik, seperti taman, sarana olahraga dan jalan. Kendatipun, dalam pemanfaatan sejumlah fasilitas tersebut pemerintah gemeente masih diskriminatif. Artinya, tidak semua warga Salatiga mendapatkan pelayanan yang sama. Ada perbedaan perlakuan yang diberikan kepada warga kulit putih, khususnya Belanda, Tinghoa dan pribumi. Namun demikian, dibangunnya fasilitas kesehatan seperti rumah sakit berikut dengan para dokternya manfaatnya juga dirasakan oleh masyarakat pribumi. Seperti air ledeng, meski tidak bisa merasakan secara khusus, masyarakat pribumi masih bisa merasakan kesegaran air ledeng melalui kran-kran umum yang dibangun di sejumlah titik. Terkait fasilitas kesehatan, pemerintah kotapraja membangun rumah sakit di daerah Kutowinangun, berdekatan dengan areal pemakaman Belanda (kerkop). Selain itu, pemerintah juga membangun rumah sakit khusus paru-paru yang kini menjadi RS Paru Aria Wirawan di jalan menuju Kopeng, Kabupaten Semarang. Eddy Supangkat dalam bukunya Salatiga, Sketsa Kota Lama menuliskan, pada masa itu fasilitas yang ada di rumah sakit Salatiga cukup representatif.

Keberadaan dua rumah sakit manfaatnya justru sangat besar dirasakan oleh masyarakat pribumi. Pasalnya, status mereka yang miskin membuat mudah terserang berbagai penyakit. Tidak diketahui secara persis kapan pembangunan rumah sakit yang berada di Hospitaalweg (kini Jl dr Muwardi-Red) tersebut. Namun, pada papan kayu di bagian atap salah satu bangunan rumah sakit tersebut terukir sebuah angka 1937 yang kemungkinan besar merupakan tahun beridirnya rumah sakit. Kepentingan Militer Jika merujuk pada instansi yang mengelola rumah sakit setelah kemerdekaan, yakni TNI.

Besar kemungkinan awalnya pendirian rumah sakit ini untuk kepentingan militer Belanda. Sebab, sejak jaman VOC Salatiga juga dikenal sebagai kota militer. Pada 1950, terjadi serah terima bangunan rumah sakit dari pemerintah Belanda kepada Indonesia. Oleh pemerintah republik, bangunan diserahkan kepada TNI untuk dikelola menjadi Djawatan Kesehatan Tentara (DKT). Karena itulah, rumah sakit tersebut hingga saat ini dikenal dengan nama RS DKT. Sebelum Salatiga memiliki rumah sakit umum yang dikelola pemerintah daerah (pemda), masyarakat menjadikan RS DKT sebagai satu-satunya rujukan. Bahkan, untuk beberapa waktu lamanya, rumah sakit ini sempat berstatus sebagai rumah sakit umum Salatiga. Kondisi tersebut berlangsung hingga 1983 saat pemda akhirnya memiliki rumah sakit yang berada di Jalan Osamaliki. Kepala Rumah Sakit Mayor CKM dr Sumanta Sembiring, SpB menuturkan, pihaknya memiliki komitmen tinggi terhadap pelestarian bangunan. Penambahan sejumlah fasilitas dilakukan tanpa mengubah bentuk bangunan asli. ”Bahkan ada beberapa bagian bangunan yang saat ini tengah kami upayakan untuk dikembalikan ke bentuk aslinya,” kata Sumanta. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap kesehatan, pihaknya terus melakukan peningkatan pelayanan, baik penambahan fasilitas maupun tenaga medis. (Dian Chandra-87)