Terkuaknya kasus dokter Ayu di Manado beberapa waktu lalu membuat status dokter residen perlu disoroti. Pasalnya, dokter dengan nama lengkap Dewa Ayu Sasiary Prawani ini masih berstatus residen dan belum memiliki Surat Izin Praktik (SIP). Kasus tersebut kemudian menimbulkan pertanyaan, sebenarnya bagaimana kewenangan dokter residen melakukan tindakan pada pasien? Manager akademik dan kemahasiswaan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Pradana Soewondo menjelaskan, dokter residen merupakan sebutan untuk peserta program pendidikan dokter spesialis (PPDS) di Indonesia.
PPDS, jelas dia, merupakan suatu tahap pendidikan dan pelatihan yang dilalui oleh dokter agar memperoleh kemampuan dan keterampilan tambahan sehingga dapat mengelola permasalahan kesehatan yang lebih kompleks dan spesifik. Tahapan pendidikan dokter residen dibagi menjadi tiga, yaitu residen tahap dasar, menengah, dan mandiri.
Pada tahapan residen, dokter berhak untuk memberikan kontribusi bagi pelayanan kesehatan di rumah sakit, sekaligus mendapatkan pendidikan yang memadai. Hanya saja, di setiap tahapannya, dokter residen memiliki tanggung jawab yang berbeda.
Pradana menerangkan, residen tahap dasar perlu ditempatkan di RS pendidikan utama, diberikan pengayaan dan pembekalan dasar, dan mendapatkan supervisi lebih melekat. Sementara residen tahap menengah perlu diberi pelatihan dan pemahiran lebih lanjut, mulai dapat menjadi bagian dari pelayanan meski tetap membutuhkan supervisi, dan ditempatkan di RS pendidikan dan RS jejaring.
Sedangkan untuk residen tahap mandiri, dokter dapat menjadi bagian dari pelayanan, dapat dialokasikan untuk RS selain pendidikan dan jejaring, namun tetap perlu mendapatkan supervisi, meski bisa melalui jarak jauh. “Perlu dipikirkan metode supervisi jarak jauh yang efisien menggunakan teknologi informasi yang memadai,” jelas Pradana melalui surat elektronik kepada Kompas Health, Senin (2/12/2013).
Dalam tahap residen, kata dia, dokter masih merupakan bagian dari proses pendidikan, meskipun sudah memiliki peran besar dalam memberikan pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, dokter residen perlu memperoleh supervisi secara bertingkat oleh dokter spesialis konsultan di RS pendidikan.
“Dokter spesialis konsultan adalah dokter penanggung jawab pasien (DPJP) sehingga seluruh tanggung jawab termasuk tanggung jawab hukum akan berada di tangan RS dan DPJP,” terang Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam FKUI ini.
Sementara itu, di RS jejaring atau RS lain yang menerima penempatan residen tahap mandiri, residen dapat memiliki tanggung jawab penuh dalam pengelolaan pasien sesuai dengan penugasan yang diterimanya (clinical appointment) dari RS.
Meski begitu, harus diakui kualitas pelayanan kesehatan di RS pendidikan dan orientasi pada keselamatan pasien ditentukan juga dari pelayanan kesehatan yang diberikan oleh residen. Karena itu, imbuh Pradana, secara berkala perlu dilakukan proses credential yang mengikuti perkembangan kompetensi residen.
“Dengan sistem credential, tindakan medis hanya boleh dilakukan oleh dokter yang kompeten,” tegasnya.
Saat ini, terdapat 14 senter PPDS di Indonesia yang dilakukan di RS pendidikan dan RS jejaring di bawah koordinasi fakultas kedokteran. Penerapan pendidikan dan pelatihan berbasis universitas ini ditujukan untuk menjaga kualitas pendidikan dan pelatihan para residen.
Untuk mendapatkan kualitas yang sama dari 14 senter PPDS, residen wajib mengikuti standar pendidikan dan standard kompetensi yang telah disahkan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dan diakhiri dengan ujian kompetensi nasional.
Menurut Pradana, pendidikan dokter yang berkualitas tidak terlepas dari pelayanan yang berkualitas. Sedangkan pelayanan kesehatan yang berkualitas perlu terus dikembangkan baik oleh pemerintah maupun swasta melalui penerapan standar pelayanan tertentu dan akreditasi.
“Pelayanan yang baik juga tidak terlepas dari sistem penjaminan kesehatan yang dikembangkan di Indonesia. Sistem jaminan kesehatan yang memadai tentunya akan menghasilkan pelayanan dan pendidikan kedokteran dan kesehatan yang baik,” pungkasnya.