ICUPelatihan Rumah Sakit | Diklat Rumah Sakit-Ikatan Dokter Indonesia dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia menolak pengaturan tenaga medis dalam Rancangan Undang-Undang Tenaga Kesehatan yang sedang dibahas Komisi IX DPR. Tenaga medis yang terdiri dari dokter umum, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis sudah diatur dalam UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.Ketua Umum IDI Zaenal Abidin, di Jakarta, Rabu (10/9), mengatakan, penolakan itu bukan berarti IDI dan PDGI sebagai organisasi profesi menolak keberadaan RUU Tenaga Kesehatan. RUU itu adalah amanat Pasal 21 Ayat 3 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.”Namun, bagian penjelasan pasal itu secara jelas menegaskan, tenaga kesehatan yang diatur dalam RUU itu adalah selain tenaga medis,” ujarnya.

Pembahasan RUU itu juga terkesan tertutup, tanpa melibatkan organisasi profesi medis ataupun kesehatan serta Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang secara langsung akan terkena dampak dari RUU itu. Pengaturan tenaga kesehatan yang dinaungi organisasi-organisasi itu otomatis akan berdampak langsung kepada masyarakat sebagai penerima layanan kesehatan.

”IDI, PDGI, PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia), IBI (Ikatan Bidan Indonesia), IAI (Ikatan Apoteker Indonesia), dan KKI perlu dilibatkan dalam pembahasan RUU Tenaga Kesehatan,” kata Wakil Ketua Umum PDGI Hananto Seno. Karena itu, IDI dan PDGI mendesak agar pengesahan RUU itu ditunda, menunggu pembahasan oleh DPR periode berikut.

Anggota KKI Wakil Tokoh Masyarakat Satryo Soemantri Brodjonegoro mengingatkan, RUU Tenaga Kesehatan seharusnya meningkatkan layanan kesehatan masyarakat menuju Indonesia sehat. Pelibatan masyarakat dalam pembahasan RUU penting karena rakyat berhak menentukan yang terbaik.

Banyak kerancuan

Selain proses pembahasan tak terbuka, materi draf RUU Tenaga Kesehatan juga mengandung banyak kerancuan. Karena pengaturan semua tenaga kesehatan disatukan, potensi bertentangan dengan UU yang ada, seperti UU Kesehatan dan UU Praktik Kedokteran, amat besar. ”Kewenangan tenaga medis, paramedis, atau tenaga kesehatan itu berbeda. Jika digabung, menimbulkan kerancuan,” kata Seno.

RUU Tenaga Kesehatan mengelompokkan tenaga kesehatan dalam 13 jenis, termasuk tenaga medis. Tenaga lain di antaranya tenaga psikologi klinis, keperawatan, kebidanan, kefarmasian, kesehatan masyarakat, kesehatan lingkungan, dan gizi. Selain itu ada tenaga keterapian fisik, keteknisian medis, teknik biomedika, kesehatan tradisional, dan tenaga kesehatan lain.

Anggota KKI Wakil Tokoh Masyarakat lain, Indah Suksmaningsih, mengingatkan, penggabungan berbagai tenaga kesehatan akan menyamakan tenaga kesehatan tradisional dengan tenaga medis. Tak adanya pembedaan jelas membuat tenaga pijat kesehatan dan tenaga pijat untuk aborsi sulit dibedakan. Demikian pula antara tukang gigi dan praktik dokter gigi. ”Itu jelas merugikan masyarakat penerima layanan kesehatan,” katanya.

Menurut Zaenal, ada beberapa kerancuan lain dalam draf RUU Tenaga Kesehatan. RUU mengatur uji kompetensi bagi semua tenaga kesehatan dengan mengadopsi sistem uji kompetensi yang berlaku bagi tenaga medis, perawat, bidan, dan apoteker. Uji kompetensi itu diselenggarakan organisasi profesi tiap-tiap tenaga kesehatan.

Padahal, tak semua tenaga kesehatan bisa dikategorikan sebagai profesi, seperti tenaga administrasi dan kebijakan kesehatan. Profesi diidentikkan dengan pekerjaan yang memiliki kode etik, memiliki asosiasi profesi yang mengatur dan menegakkan etika profesi, serta butuh sertifikasi khusus untuk menjalankan profesi.

Draf RUU juga mengatur soal praktik tenaga kesehatan, tetapi tak ada penjelasan yang dimaksud dengan praktik. Padahal, praktik kerja tenaga medis dengan tenaga kesehatan tertentu, seperti tenaga promosi kesehatan dan ilmu perilaku atau tenaga administrasi dan kebijakan kesehatan, tentu berbeda.

Selama ini, yang menjalankan praktik hanya tenaga medis. Sebagian tenaga kesehatan, seperti perawat dan bidan, menjalankan praktik mandiri, tetapi kewenangannya terbatas. Untuk membuka praktik, mereka butuh izin praktik, sertifikat kompetensi dari organisasi profesi, serta berbagai prasyarat lain untuk bisa membuka praktik.

RUU juga mengatur rahasia kesehatan penerima pelayanan kesehatan. Ini sulit diwujudkan jika kerja tenaga kesehatan itu bersifat promosi kesehatan. Masalah lain, RUU itu juga akan mengeliminasi peran KKI dan memasukkannya sebagai bagian dari Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia.