Pelayanan kesehatan merupakan hak setiap  orang yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 yang harus diwujudkan dengan upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Salah satu penyelenggara pelayanan kesehatan adalah rumah sakit. Sementara menurut World Health Organization (WHO) rumah sakit bagian integral  dari satu organisasi sosial dan kesehatan dengan fungsi menyediakan pelayanan kesehatan paripurna, kuratif dan preventif kepada masyarakat, dan pelayan rawat jalan yang diberikannya menjangkau keluarga dirumah. Rumah sakit juga merupakan pusat pendidikan dan latihan tenaga kesehatan dan pusat penelitian biomedis. Dalam Undang-Undang No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit pasal 2 dinyatakan bahwa rumah sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan antidiskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial. Pada pasal 6 UU yang sama dinyatakan menjamin pembiayaan pelayanan kesehatan di rumah sakit bagi fakir miskin atau orang tidak mampu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Namun dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran, mengantarkan rumah sakit sebagai lembaga kemanusian, keagamaan, sosial menjadi sebuah lembaga  yang mengarah dan berorientasi pada kepentingan pemodal ‘bisnis’. Ini ditandai dengan setelah para pemodal diperbolehkan  untuk mendirikan rumah sakit berbadan hukum yang sudah pasti mempunyai tujuan mecari keuntungan ‘profit’.Saat ini tuntutan masyarakat terhadap pelayanan rumah sakit berupa kenyamanan, kemudahan, kualitas dalam pelayanan. Sehingga kita tak heran jikalau masyarakat kelas ekonomi tinggi memilih keluar negeri untuk memeriksakan kesehatannya seperti Singapura, Malaysia dan beberapa Nngara yang telah dinilai maju rumah sakit nya. Walaupun konsekuensinya mengeluarkan biaya yang tak sedikit.

Pertanyaan yang kemudian muncul kenapa masyarakat yang memiliki uang banyak itu memilih keluar negeri? Ada apa dengan rumah sakit di Indonesia? Sudah pasti jawabannya adalah kualitas dan kenyamanan pelayanan di beberapa negara tersebut yang menjadi alasannya. Artinya kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan rumah sakit di Indonesia masih rendah. Itulah fakta perilaku masyarakat ekonomi kelas tinggi terhadap pelayanan rumah sakit di Indonesia.

Kasus Zahrah
Bagaimana dengan masyarakat ekonomi menengah ke bawah alias orang miskin? Masih hangat dalam ingatan kita, Dera Nur Anggraini bayi malang yang menghembuskan nafasnya pada usia 7 hari pada hari Sabtu 16 Februari 2013 di Jakarta. Bayi Dera meninggal akibat penyakit ganguan saluran pernapasan, ironisnya bayi Dera ditolak oleh 10 rumah sakit yang didatangi oleh ayah dan kakeknya.
Alasan rumah sakit yang didatangi adalah rumah sakit penuh bahkan ada rumah sakit meminta uang muka terlebih dahulu. Inilah tragedi yang kita saksikan terjadi di Republik ini, dimana masih ada rakyat yang tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak bahkan diterlantarkan oleh penyelenggara pelayanan kesehatan yakni rumah sakit. Kejadian ini sungguh tak sejalan dengan salah satu sasaran millennium development goals (MDGs) yaitu menurunkan angka kematian bayi.
Tak kalah heboh adalah kasus Prita Mulyasari, seorang ibu rumah tangga yang berhadapan dengan RS Omni Internasional hingga ke meja hijau. Ini berawal ketika ibu Prita menuliskan keluhannya terhadap rumah sakit yang tersebar didunia maya hingga dia dituntut pencemaran nama baik oleh RS.Omni Internasional. Kejadian ini mengundang simpati publik terhadap Prita ketika dituntut denda Rp 204 juta.
Begitu juga yang dialami bayi Zahrah (bayi hidrocepalus) yang ditolak oleh RSUP dr Wahidin Sudirohusodo Makassar. Rumah sakit seolah tidak peduli kondisi bayi yang gawat dan sangat membutuhkan tindakan medis terlebih dahulu. Zahrah, bayi yang berasal dari keluarga miskin di Kabupaten Bulukumba, pun diminta untuk melengkapi berkasnya terlebih dahulu di Dinas Sosial Bulukumba (Tribun Timur/27 April 2013, halaman 17).
Itulah beberapa fakta terkait rumah sakit di Indonesia. Orang yang banyak duit memilih alternatif keluar negeri untuk memeriksakan kesehatannya sedangkan orang miskin tak punya alternatif selain diperlakukan tidak adil oleh ‘kebobrokan’ rumah sakit di negaranya sendiri. Padahal  dalam UU menjamin pembiayaan pelayanan kesehatan bagi fakir miskin dan orang yang tak mampu.

Pengawasan RS
Untuk mewujudkan rumah sakit  yang berkualitas terbaik tersebut dibutuhkan keterlibatan semua  pihak terkhusus pemerintah. Pemerintah harus menjalankan amanah undang-undang sebaik-baiknya.  Kebobrokan rumah sakit di Indonesia tentu bukan harapan kita semua. Harapan kita tidak ada lagi warga yang merasakan  kejadian yang dialami Bayi Dera dan Ibu Prita Mulyasari maupun kasus bayi Zahrah.
Harapan kita adalah RS memberikan pelayanan yang terbaik tanpa mempersoalkan kemampuan finansial warga yang akan memanfaatkan layanan rumah sakit. Maka dari itu pengawasan terhadap RS di seluruh Indonesia harus berjalan dengan baik sesuai dengan pasal 57, 58, 59, 60 UU No 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit .
Badan pengawas rumah sakit harus bekerja maksimal dan diperkuat disetiap provinsi. Badan pengawas rumah sakit setiap provinsi  menjalankan fungsinya yaitu  mengawasi dan menjaga hak dan kewajiban pasien di wilayahnya. Juga mengawasi dan menjaga hak dan kewajiban Rumah Sakit di wilayahnya, mengawasi penerapan etika RS, etika profesi, dan peraturan perundang undangan.
Bukan hanya itu, juga melakukan pelaporan hasil pengawasan kepada Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia, melakukan analisis hasil pengawasan dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah daerah untuk digunakan sebagai bahan pembinaan dan  menerima pengaduan. Tugas lain melakukan upaya penyelesaian sengketa dengan cara mediasi. Institusi pendidikan, para akademisi, dan lembaga swadaya masyarakat juga harus mengambil peran dalam memberikan pengawasan terhadap rumah sakit.
Bila fungsi pengawasan rumah sakit dengan baik hingga ke setiap daerah di Indonesia, ini akan meminimalkan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Rumah sakit. Dengan begitu Masyarakat akan percaya terhadap pelayanan RS di republik ini sehingga tidak ada lagi warga Indonesia yang memilih RS di luar negeri. Justru ke depan, warga negara lain yang memilih RS di Indonesia. Kita pun berharap tidak ada lagi orang miskin yang ditolak rumah sakit.
Bagi RS yang tak menaati aturan tersebut, harus diberi sanksi sesuai UU No 36 Tahun 2009 tentang kesehatan. Pada akhirnya kita berharap, komitmen dan ketegasan pemerintah dalam menegakkan aturan harus segera dibuktikan. Sudah cukup banyak kasus yang terjadi di republik ini yang mencerminkan pelayanan kesehatan yang tidak berkeadilan bagi orang miskin. (*)

Oleh;
Andi Surahman Batara SKM MKes
Dosen FKM UMI/Ketua Umum Badko HMI Sulselbar