Pelatihan Rumah Sakit |Diklat Rumah Sakit –Jumlah pasien Intalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Moewardi Solo yang hari Senin (5/5/2014) pukul 18.00 WIB membludak hingga 60 orang, berkurang pada Selasa (6/5/2014). Pada Selasa siang, jumlah pasien di bed lorong IGD hanya tujuh orang. Menurut pejabat Humas RSUD dr. Moewardi, dr. Elysa, sebagian pasien sudah dirawat di bangsal-bangsal sesuai kebutuhan pasien. “IGD itu kan penitipan sementara pasien untuk diperiksa seketika datang ke RSUD dr. Moewardi. Saat ini sudah pada masuk ke bangsal. Mereka ditempatkan di bangsal kelas I-III atau lainnya sesuai keinginan mereka atau keluarga masing-masing, namun tidak tahu pada malam harinya,” ujar dr. Elysa.

Elysa mengatakan penyebab jumlah pasien IGD membeludak salah satunya karena sikap kurang kooperatif rumah sakit lain di Solo terkait penerapan perjanjian kerjasama. Mereka melanggar perjanjian kerjasama antara RSUD dr. Moewardi dengan rumah sakit lain di Solo Tentang Pelayanan Rujukan Pasien. Menurutnya, beberapa rumah sakit melanggar poin 3 pasal 4 tentang Hak dan Kewajiban Pihak Kedua.

“Dalam pasal 4 dijelaskan bahwa pihak pertama adalah RSUD dr. Moewardi dan pihak kedua adalah rumah sakit lain. Poin 3 berbunyi ‘pihak kedua berkewajiban melakukan komunikasi dengan pihak pertama dan memastikan bahwa pihak pertama dapat menerima pasien dalam hal keadaan pasien gawat darurat’. Mereka banyak melanggar poin itu, tidak mengonfirmasikan akan adanya rujukan pasien,” dr. Elysa.

Dia mencontohkan kasus pasien bernama Sarwoto yang sebelumnya dirawat di RS Brayat Minulya dan salah satu rumah sakit di Sukoharjo. Pihak rumah sakit tersebut tidak mengkonfirmasikan kedatangan pasien. Kalau ada pasien kami tidak bisa menolak untuk memberikan pelayanan. Namun seharusnya pihak rumah sakit yang hendak merujuk pasien member tahu terlebih dahulu kepada kami, biar kami bisa member tahu kalau ada tempat, alat, dan tenaga medis yang tersedia. Kasihan kalau datang dan kami tidak ada fasilitas itu. Tidak adanya konfirmasi juga menjadi salah satu faktor penyebab memludak. Pasien memilih ke sini [RSUD dr. Moewardi,” ujar Elysa.

Elysa mengatakan perjanjian tersebut disepakati sejak awal 2014 oleh seluruh rumah sakit di wilayah Solo. Setelah disepakati, rumah sakit harus serius dalam menerapkan isi perjanjian.

“Karena selama ini kami sering mendapat kesan jelek. Jadi banyak sekali pasien yang datang. RSUD dr. Moewardi seakan-akan tolak pasien dan galak-galak. Akhirnya kami berinisiatif untuk mengumpulkan semua direktur di semua rumah sakit meski dulu ada yang datangnya diwakili untuk membahas draf perjanjian itu. Setelah dan dipastikan dengan selamat di rumah sakit dahulu sebelum dirujuk ke rumah sakit lain tanpa tergesa-tgesa.pembahasan itu kan disepakati semua rumah sakit,” ujar dr. Elysa.

Elysa menambahkan perjanjian tersebut adalah mekanisme paling efektif untuk penanganan pasien rujukan. “RSUD dr. Moewardi kan ibarat rujukan terakhir atau ketiga. Jadi kami sering sekali mendapat pasien rujukan. Pasien itu sebelum dirujuk ke sini harus ada komunikasi dulu. Itu untuk  mengetahui tentang ketersediaan peralatan, tempat, dan tenaga medis. Semua itu kembali ke kepentingan pasien, agar mereka tertangani dengan selamat. Kalau kami tidak sarana itu kan nanti bisa fatal,” kata dr. Elysa.

Komunikasi tersebut lebih baik dilakukan oleh pihak rumah sakit perujuk. Terkait mekanisme, ada sembilan ketentuan lain sebafai syarat rumah sakit bisa merujuk pasien ke rumah sakit lain.

“Seperti kasus kemarin, ada pasien dari RS Brayat Minulya yang datang ke sini dan ternyata belum daftar. Ternyata kami lagi banyak pasien di IGD, dan keluarga menyetujui untuk dibawa kembali ke RS Brayat. Bukan kami bermaksud membuat rumit dengan ketentuan dan tata cara yang berlaku dalam merujuk pasien. Semua itu kembali karena kami memastikan kondisi pasien agar bisa tertangani dengan maksimal dan pasien bisa selamat atau sehat,” ujar dr. Elysa.

RSDU dr. Moewardi tidak pernah menolak untuk memeriksa pasien yang datang. Untuk meminimalisir keadaan tidak diinginkan seperti kematian karena fasilitas, tempat, dan tenaga yang terbatas maka lebih baik ada konfirmasi terlebih dahulu antara rumah sakit perujuk atau pasien itu sendiri kepada pihak rumah sakit tujuan.

“Ada Sembilan tata cara pelayanan pasien rujukan. Semua itu sebenarnya perlu di perhatikan dan dipatuhi. Pertama rujukan harus mendapat persetujuan dari pasien dan/atau keluarganya. Persetujuan itu juga harus mendapat penjelasan dari tenaga kesehatan yang berwenang. Intinya semua harus ada komunikasi dan konformasi,” ujar dr. Elysa.