pasien rsPelatihan Rumah Sakit|Diklat Rumah Sakit – Stok obat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kefamenanu, Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur, habis. Sejumlah pasien yang kritis dan sempat dirawat inap terpaksa pulang. Sekitar 90 persen pasien yang dirawat di rumah sakit itu adalah pasien dengan Jamkesmas dan Jamkesda. Para pasien tak mampu itu memilih pulang meski dalam kondisi kritis untuk menjalani pengobatan secara tradisional. Pasien lainnya dirujuk ke Rumah Sakit Umum Kupang untuk mendapat perawatan secara intensif. Seorang pasien penderita sakit jantung akut kecewa dengan manajemen RSUD Kefamenanu. Soalnya, obat-obatan dan alat kesehatan lain harus dibeli sendiri. “Saya heran, botol dan cairan infus saja kami harus beli di apotek luar,” ujarnya.
“Kami kecewa dengan manajemen rumah sakit, bagaimana harus beli lagi obat, sedangkan kami menggunakan Askes. Kalau obat harus tunggu ditender dulu, mungkin kami para pasien sudah mati baru obatnya datang,” protes Markus Lengko, seorang pasien penderita sakit jantung akut. Seorang ibu muda yang baru melahirkan mengalami perdarahan hebat dan kekurangan darah. Ketiadaan bank darah dan obat membuat keluarganya nekad membawa pasien pulang. Pengakuan keluarga pasien miskin itu, mereka kehabisan uang membeli obat, sehingga harus pulang.

Selama di rumah sakit, keluhan yang sama datang dari puluhan pasien lain: obat dibeli sendiri di apotek luar menggunakan uang pribadi.

“Ini orang melahirkan dan mengalami perdarahan hebat juga tidak ada obat sama sekali. Kami sudah lima hari di sini, tapi pelayanan sangat buruk. Nanti lihat perkembangan bagaimana baru kami lanjutkan rujuk ke Kupang,” ketus Akuilina Piris, seorang warga asal Desa Noemuti.

Krisis obat yang melanda RSUD Kefamenanu sudah terjadi sejak awal 2014. Dirut RSUD Kefamenanu, dr. Wayan Winarta, tidak mengetahui permasalahan sebelumnya hingga terjadi kekosongan obat.

Katanya, ia baru sebulan dilantik, dan mengejar untuk segera dilakukan tender pengadaan obat mengingat pasien tak mampu banyak yang dirawat di RSUD Kefamenanu.

Informasi lain yang berhasil dihimpun VIVAnews, selain alasan terlambatnya sidang penetapan APBD yang dinilai menjadi memicu keterlambatan distribusi obat, ternyata RSUD Kefamenanu juga masih mempunyai utang sebesar Rp48 juta ke distributor obat dari perusahaan Dos Ni Roha, Kupang.

Perusahaan itu pun tidak mau melayani pembelian obat sebelum piutang tersebut dibayar. Soal utang-piutang tersebut belum diketahui jelas oleh dirut baru. Namun, menurut dia, diperkirakan jumlah utang bukan hanya Rp48 juta, melainkan senilai total Rp270 juta.

“Saya belum cek satu per satu data yang ada, tetapi ini kan namanya utang, jadi yang pasti kita harus bayar,” kata dr. Wayan Winarta.

Pihak perusahaan, Agus Nahak, yang dikonfirmasi VIVAnews melalui telepon, menjelaskan bahwa perusahaan sudah tidak lagi melayani pembelian obat kepada RSUD Kefamenanu, lantaran belum adanya proses pelunasan utang.

“Untuk rinciannya saya kurang tahu jelas, tetapi yang pasti, jumlahnya sekitar itu, dan saya juga tidak tahu di tempat lain. Mungkin mereka layani. Tetapi, kalau di kami, tidak dilayani lagi sampai saat ini,” ujarnya.

“Sekarang kan sudah dalam proses pergantian direktur baru. Kami juga biasanya langsung melakukan konfirmasi dengan pihak RSUD terkait pembayaran ini, dan kami juga tidak tahu jelas kapan akan mereka bayar, dan mereka selalu bilang nanti saja.”

“Jadi, sampai saat ini belum ada kejelasan yang pasti. Kami kasihan saja dengan masyarakat yang harus membeli obat segala, dan seharusnya masyarakat dilayani, bukan harus mengeluarkan biaya untuk membeli obat,” katanya.

Soal piutang yang belum dibayar itu, Nahak mengharapkan RSUD bisa segera membayar. “Utang ini sudah dari tahun 2013, dan belum dibayar hingga saat ini. Jadi, kami sangat mengharapkan agar dari pihak RSUD menyelesaikannya,” ungkapnya.

Alasan keterlambatan sidang penetapan APBD yang berpengaruh pada proses pengadaan obat dan alat kesehatan menjadi polemik setelah meninggalnya seorang pasien, Theresia Mbado. Sebab, Perda Nomor 1 tentang APBD TTU sudah ditandatangani Bupati pada 12 Februari 2014, dan telah diundangkan dalam Lembaran Daerah pada 6 Maret 2014.

Sementara itu, anggaran untuk pembelian obat RSUD tahun 2013 sebesar Rp2 miliar dan untuk 2014 sebesar Rp1,3 miliar. Namun, kenyataan delapan bulan terhitung sejak Januari 2014 RSUD sudah mengalami kekosongan obat-obatan dan alat kesehatan.