Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menilai implementasi program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan BPJS Kesehatan per 1 Januari 2014 mengabaikan pedoman pelaksanaan (manlak) atau petunjuk teknis (juknis) kepada rumah sakit (RS), akibatnya RS seringkali kesulitan menyampaikan informasi kepada pasien sehingga banyak pasien yang ditolak. Hal ini dikemukakan anggota Komisi IX DPR RI, Poempida Hidayatulloh di Jakarta, Senin (10/02/2014). “Pantauan kami ternyata tidak ada Juknis yang disampaikan oleh BPJS Kesehatan kepada pihak RS. Akibatnya, pihak RS sering kesulitan untuk menyampaikan informasi kepada pasien. Dan seringkali pada akhirnya pasien ditolak karena pihak RS ragu dengan persyaratan yang harus disampaikan,” ujarnya.

Selain itu, juga masih ditemukan pelayanan emergency (gawat darurat) yang tidak mengacu pada Kepmenkes No 856/SK/IX/2009 tentang Standar Pelayanan Instalasi Gawat Darurat. Menurutnya, pasien yang masuk ke RS melalui IGD, diagnosa penyakitnya harus diagnosa yang tercantum dalam Kepmenkes tersebut.

“Jika pasien masuk IGD tetapi diagnosanya tidak tercantum dalam Kepmenkes 856, maka akan terjadi 2(dua) kemungkinan,
pertama, RS tetap memberikan pelayanan medis kepada pasien dengan resiko tagihan klaimnya tidak akan dilayakkan/ ditolak oleh BPJS Kesehatan. Dan kedua, RS menyuruh pasien untuk berobat ke Puskesmas walaupun kejadiannya di malam hari,” ujarnya.

Berdasarkan hasil rapat dengar pendapat (RDP) dengan BPJS Kesehatan, ada 26 hal masih terhambat. Meski begitu, Komisi IX yang menaungi BPJS kesehatan memberikan batas waktu perbaikan pada manajeman BPJS.

“Waktu yang diberikan untuk melakukan evaluasi adalah tiga bulan kedepan. Setelah itu Komisi IX akan melakukan RDP kembali terkait keluhan masyarakat,” tukas Politisi Partai Golkar ini.